Skip to main content

Penyelarasan Tasawuf (Akhlak dan Tasawuf)



MAKALAH AKHLAK DAN TASAWUF
PENYELARASAN TASAWUF







Disusun Oleh:
1.    Khusairi Abdy                        (16650026)
2.    Nur Faizah                              (16650012)
3.    Syafaat Adi Nugraha              (16650034)
4.    Ghaida Nurul Rahma Hakiki (16650045)
5.    Moh Ali Ridwan                     (16650031)





TEKNIK INFORMATIKA
FAKULTAS SAINS & TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2016


Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan karya makalah Akhlak dan Tasawuf ini menegenai Penyelarasan Tasawuf.

Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Akhlak dan Tasawuf jurusan teknik informatika semester 1.

Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami memohon kritik dan saran di waktu yang akan dating. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh masyarakat khususnya bagi mahasiswa.







Yogyakarta, November 2016


Penulis




DAFTAR ISI

Kata Pengantar………………………………………..……………………………….…2
Daftar Isi………………………………………………..…………………………………3
Bab I : Pendahuluan……………………………………………………………………...4
A.     Latar Belakang Masalah…………………………………………………………..4
B.      Rumusan Masalah………………………………………………………………...5
Bab II : Pembahasan……………………………………………………………………..6
A.     Penyimpangan Tasawuf………………………………………………………......6
B.      Kritik Al-Ghazali: Terhadap Penyimpangan Tasawuf Falsafi…………………....8
C.      Penyelarasan Terhadap Tasawuf…………………………………………...….....10
D.     Konsep “Sankan Paraning Dumadi”……………………………………………..11
E.      Konsep Makrifat………………………………………………………………....13
Bab III : Kesimpulan…………………………………………………………................15
Bab IV : Penutup………………………………………………………………………..16
Bab V  : Daftar Pustaka……………………………………………………...................17



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Tasawuf sebagai salah satu ilmu esoterik islam memang selalu menarik untuk diperbincangkan. Terlebih pada saat ini dimana masyarakat seakan mengalami banyak masalah sehingga tasawuf dianggaap sebagai satu obat manjur untuk mengobati kehampaan tersebut.
Terlepas dari banyaknya pro dan kontra seputar asal mula munculnya tasawuf harus kita akui bahwa nilai-nilai tasawuf memang sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Setidaknya tasawuf pada saat itu terlihat dari tingkah laku nabi yang pada akhirnya kita namakan dengan nilai-nilai sufi. Hal tersebut sangatlah wajar karena misi terpenting nabi adalah untuk memperbaiki dan sekaligus meyempurnakan akhlak masyarakat arab dulu.
Diantara salah satu tokoh tasawuf islam yang sangat terkenal adalah Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Thusi atau yang kita kenal dengan sebutan Imam Al-Ghazali. Beliau telah berhasil menggagas kaedah-kaedah tasawuf yang terkumpul dalam karya yang terkenal Ihya’ U’lum al-Din (The Revival of Religion Sciences). Karya al-Ghazali ini dianggap sebagai jembatan yang mendamaikan syari’at dengan tasawuf yang sempat mengalami clash pada zaman itu.
Akhlak pada Imam Ghazali mempunyai pengertian tersendiri dan mempunyai batas pengertiannya sendiri. Pengertian akhlak baginya mengenai cara-cara suluk, mengenai jalan mendekatkannya kepada Allah sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh syariat Islam dan ahli-ahli feqah. Oleh sebab itu, beliau menggunakan banyak nama untuk akhlak itu. Kadang-kadang beliau menambahnya jalan ke akhirat, sesekali menamakannya sifat-sifat hati, pada suatu tempat lain beliau menggunakan kata rahsia amal ibadat agama, bahkan pernah menggunakan sebutan budi pekerti yang baik di mana ia dijadikan nama bagi sebuah karya karangannya iaitu Akhlak al-Abrar. Sebuah karangannya yang terpenting dan masyhur diberi nama Ihya’ Ulumuddin iaitu Pembangkit Ilmu-ilmu Agama.
 Sebagai dasar budi pekerti manusia, Imam Ghazali memberikan tiga sebab asas iaitu tafakkur membawa erti akal, syahwat membawa erti hawa nafsu dan ghadab yang membawa erti marah. Memperbaiki budi pekerti bagi Imam Ghazali ialah menuju keseimbangan dalam menggunkan ketiga sifat asas tadi dan menyalurkan kepada perilaku atau perangai yang baik. Didakwa bahawa tidak kesemua kelakuan yang baik itu disukai oleh manusia bahkan sebaliknya kerapkali manusia itu menggemari perbuatan yang buruk.
Dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin dijelaskan secara lebih mendalam bahawa budi pekerti itu merupakan suatu naluri asli dalam jiwa sesorang manusia yang dapat melahirkan suatu tindakan dan kelakuan dengan senang dan mudah tanpa rekaan fikiran. Jika naluri tersebut melahirkan sesuatu tindakan dan kelakuan yang baik lagi terpuji menurut akal dan syariat maka ia dinamakan budi pekerti yang baik.
B.      Rumusan Masalah
1.      Apa penyimpangan-penyimpangan tasawuf?
2.      Bagaimana kritik Al Ghazali terhadap penyimpangan tasawuf falsafi?
3.      Bagaimana penyelarasan terhadap tasawuf?
4.      Apa pengertian sankan paraning dumadi?
5.      Bagaimana konsep makrifat?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Penyimpangan Tasawuf
            Tasawuf memiliki wawasan yang yang relatif luas, mulai dari upaya,-upaya pembersihan hati, pembentukan akhlak yang terpuji sampai kepada ma’rifah. Para pengamal ajaran tasawuf sesungguhnya tidak seluruhnya sama. Ada yang konsentrasinya pada pembentukan akhlak mulia, menjadikan diri sebagai hamba yang tat kepada-Nya didalam seluruh aspek kehidupan dengan senantiasa berpegang teguh pada tuntutan syariah. Tasawuf merupakan ilmu yang tak banyak orang dapat memahaminya secara rinci. Banyak juga yang takut akan mempelajari ilmu tasawuf, karena mereka melihat ilmu tasawuf merupakan ilmu yang sesat. Berikut beberapa penyimpangan tasawuf:
1.      Wihdatul Wujud, yakni meyakini bahwa Allah SWT menyatu dengan segala sesuatu yang ada di alam semesta. Demikian juga Al-Hulul, yakni keyakinan bahwa Allah SWT dapat menjelma dalam bentuk tertentu dari makhluknya. Al-Hallaj seorang sufi berkata “kemudian Dia (Allah) menampakkan diri kepada makhluknya dalam bentuk orang makan dan minum.” (Dinukil dari Firaq Al-Mua’shirah, karya Dr. Ghalib bin 'Ali Iwaji, 2/600).  Muhammad Sayyid At-Tijani meriwayatkan (secara dusta) dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bahawasanya beliau bersabda:
      “Aku melihat Rabbku dalam bentuk seorang pemuda.” (Jawahirul Ma’ani, karya 'Ali Harazim, 1/197, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, hal. 615)
Allah SWT telah berfirman yang artinya :
      “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
(Asy-Syura:11).
Firman Allah juga pada Qs. Al-A’raf: 143) yang artinya:
“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau." Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku." Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman."
2.      Seorang yang menyetubuhi istrinya, tidak lain ia menyetubuhi Allah SWT. Ibnu ‘Arabi berkata: “Sesungguhnya seseorang ketika menyetubuhi istrinya tidak lain (ketika itu) ia menyetubuhi Allah!” (Fushushul Hikam).
3.      Keyakinan kafir bahwa Allah SWT adalah makhluk dan makhluk adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala, masing-masing saling menyembah kepada yang lainnya. Ibnu ‘Arabi berkata: “Maka Allah memujiku dan aku pun memuji-Nya. Dan Dia menyembahku dan aku pun menyembah-Nya.” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah).
4.      Seluruh orang kafir yang ada di muka bumi adalah mukmin yang bertauhid, dan bermakrifat. Orang-orang kafir bukan orang-orang yang mengingkari Allah, tetapi orang-orang yang mengagumkan karena menganut faham bahwa tuhan beraneka bentuk. Disisi lain, orang mukmin adalah orang yang beriman kepada sebagian dari kebenaran saja, namun ingkar kepada sebagian yang lain. Faham seperti ini bertolak belakang dengan substansi ajaran Al Quran dan sunnah Rasulullah SAW. Yang membersihkan Allah dari segala yang tidak baik. Al quran dan Sunnah tidak pernah menjelaskan bahwa substansi kejelekan, kebejatan da kehinaan adalah Allah. Menganggap Allah saja mempunyai anak sudah dinilai oleh Al Quran sebagai kemunkaran yang membuat langit hamper pecah, bumi terbelah dan gunung-gunung runtuh. Allah berfirman yang artinya: Dan mereka berkata: "Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menda'wakan Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan yang maha pemurah selaku seorang hamba. Sesungguhnya Allah tlah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti. Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri”. (Qs. Maryam 88-95).
5.      Keyakinan tidak ada bedanya antara agama-agama yang ada
Ibnu ‘Arabi berkata: “Sebelumnya aku mengingkari kawanku yang berbeda agama denganku. Namun kini hatiku dapat menerima semua keadaan, tempat gembala rusa dan gereja pendeta, tempat berhala dan Ka’bah, lembaran-lembaran Taurat dan Mushaf Al Qur’an.” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah). Jalaluddin Ar-Rumi, seorang tokoh sufi, berkata: “Aku seorang muslim, tapi aku juga seorang Nashrani, Brahmawi, dan Zaradasyti. Bagiku, tempat ibadah adalah sama… masjid, gereja, atau tempat berhala-berhala.”
Padahal Allah SWT berfirman yang artinya:  “Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya. Dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imran: 85)
B.     Kritik Al-Ghazali : Terhadap Penyimpangan Tasawuf Falsafi
Dalam buku tahafutnya, Al-Ghazali menunjukkan bahwa argumen-argumen yang disebutkan oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina penuh dengan kerancuan. Al-Ghazali melontarkan kritikannya tersebut melalui metode yang sama dengan yang digunakan Ibnu Sina. Bahkan beberapa penstudi menyatakan bahwa argumentasi yang diberikan Al-Ghazali jauh lebih detail dan mendalam dari Ibnu Sina dan Al-Farabi. Jadi dapat dilihat disini bahwa kritikan Al-Ghazali bisa digolongkan ke dalam usaha filsofis karena melihat dari metode dan tujuan yang hendak diraihnya.
Pernyataan bahwa Al-Ghazali adalah seorang yang gigih menentang filsafat tidaklah salah sepenuhnya apabila kita hanya menelaah buku tahafut saja. Namun menjadi lain persoalan jika kita melihat dan membandingkannya dengan karya-karya Al-Ghazali yang lain, dimana dengan jelas terlihat bahwa pemikir berkebangsaan Persia ini adalah seorang rasionalis tulen. Kecaman Al-Ghazali terhadap para filosof tidak lantas diartikan bahwa ia seorang anti rasio. Kritisisme cendekiawan muslim ini sejatinya tidak dalam rangka membunuh kreativitas intelektual umat Islam karena ia sendiri memberikan apresiasi yang positif terhadap akal sebagai salah satu instrumen mencari pengetahuan.
Al-Ghazali adalah orang yang pertama kali dalam sejarah Islam yang mempelajari filsafat untuk kemudian mengkritiknya. Hasil pembacaannya terhadap filsafat ia bukukan dalam bukunya maqashid al-falasifah. Buku ini ia maksudkan sebagai pengantar kritiknya terhadap filsafat yang ada dalam buku selanjutnya, tahafut al-falasifah. Al-Ghazali menjelaskan dalam karyanya tersebut, bahwa lapangan filsafat ada enam, yaitu matematika, logika, fisika, metafisika, politik dan etika. Masing-masing disiplin ilmu tersebut memiliki pola relasi yang tidak tunggal terhadap agama; ada yang tidak bertentangan sama sekali dengan agama, dan ada pula yang bertentangan.
Matematika, menurut Al-Ghazali tidak bertentangan dengan agama. Sifat utama dari ilmu ini adalah bahwa kebenaran yang didapatkan adalah kebenaran yang pasti, dan tunggal. Hal ini bisa menimbulkan mispersepsi bagi orang awam yang mengira bahwa semua lapangan filsafat termasuk metafisika, memiliki bentuk kebenaran yang pasti. Dan hal ini sangat berbahaya menurut Al-Ghazali. Kesalahan persepsi kedua yang rentan terjadi adalah jika ada orang awam yang mengatakan bahwa semua bidang kajian filsafat adalah sesat sehingga harus dihanguskan secara keseluruhan. Hal ini bisa menimbulkan masalah karena disiplin lain yang tidak bertentangan dengan agama, seperti matematika bisa dicap juga sebagai kesesatan. Sedangkan lapangan logika menurut Al-Ghazali, juga tidak ada sangkut pautnya dengan agama, karena agama sendiri tidak memberikan pernyataan tegas mengenai kedudukan logika. Karakteristik ilmu logika berisi penyelidikan tentang argumentasi-argumentasi pembuktian dalil, syarat-syarat pembuktian, dan silogisme, definisi dan sebagainya. Logika sendiri acap digunakan oleh para teolog (mutakalimin) untuk membuktikan kebenaran argumentasi mereka. Argumentasi-argumentasi yang mereka bangun berdasarkan premis-premis pendahuluan untuk membuktikan kebenaran konklusi suatu argumentasi. Konklusi yang dihasilkan logika bersifat pasti. Hal inilah yang kemudian rentan disalahgunakan jika logika dipergunakan untuk mengukur tingkat kepastian persoalan-persoalan metafisika. Inilah yang diingkari oleh Al-Ghazali.
Sementara itu, ilmu fisika menurut Al-Ghazali berbicara mengenai benda-benda yang ada di bumi dan di langit. Pembahasan ilmu fisika tidak jauh berbeda dengan kedokteran, yaitu memeriksa gejala-gejala yang terjadi terhadap tubuh, organ, peredaran darah, saraf, dan sebagainya. Karena sifatnya yang demikian, maka sebagaimana ilmu kedokteran tidak dilarang oleh agama, ilmu fisika juga tidak perlu untuk diingkari. Kesimpulan dalam mempelajari ilmu fisika ini adalah bahwa alam semesta tunduk dan diciptakan oleh Allah, bukan ada dengan sendirinya dalam waktu yang tak terbatas (qadim) sebagaimana yang diimani oleh para filosof yang dikritik Al-Ghazali.
Dalam bidang politik dan etika, para filosof hanya berbicara masalah kebijaksanaan dan aturan moral yang harus dilakukan apabila ingin mendapatkan tujuan di dunia. Perbedaan antaa keduanya, jika pada ilmu politik aturan moral diberlakukan untuk mendapatkan kekuasaan dunia, sedangkan dalam ilmu akhlak digunakan untuk mendapatkan kebahagiaan dan hidup terhormat di dunia.

C.    Penyelarasan Tasawuf
Salah satu tuduhan yang kerap dialamatkan kepada tasawuf adalah bahwa tasawuf mengabaikan atau tidak mementingkan syari’at. Tuduhan ini berlaku hanya bagi kasus-kasus tertntu yang biasanya terdapat dalam tasawuf tipe “Keadaan Mabuk”(sur, intoxication), yang dapat membedakan dari tasawuf tipe “keadaan-tidak-mabuk”(sahw, sobiety). “Keadaan Mabuk” dikuasai oleh persaan kehadiran Tuhan: para sufi  melihat Tuhan dalam segala sesuatu dan kehilangan kemampuan untuk membedakan makhluq-makhluq. Keadaan ini disertai oleh keintiman (uns), kedekatan dengan Tuahn yang mencintai. “keadaan-tidak-mabuk” dipenuhi oleh rasa takut dan hormat (haybah), rasa bahwa Tuhan betapa agung, perkasa, penuh murkan dan jauh, derta tidak perduli pada persoalan-persoalan kecil umat manusia.
Para sufi “yang mabuk” merasakan keintiman dengan Tuhan dan sangat yaqin pada kasih sayang-Nya, sedangkan para sufi “yang-tidak-mabuk” dikuasai rasa takut dan hormat kepada Tuhan dan tetap khawatir terhadap kemurkaanNya. Yang pertama cenderung kurang mementingkan syari’at dan menyaatkan terang-terangan persatuan denagan Tuhan, sedangkan yagn kedua memelihara kesopanan (adab) terhadap Tuhan. Para sufi yang, dalam ungkapan Ibn al-‘Arabi, “melkihat dengan kedua mata” selalu memelihara akal dan kasyf (penyingkakpan intuitif) dalam keseimbangan yang sempurna dengan tetap mengakui hak-hak “yang tidak-mabuk” dan “yang-mabuk”.
Tuduhan bahwa tasawuf mengabaikan syari’at tidak dapat diterima apabila ditujukan kepada tasawuf tipe “keadaan-tidak-mabuk”. Pasalnya, tasawuf tipe ini sangat menekankan pentingnya syari’at. Tasawuf tidak dapat dipisahkan karena bagi para penganutnya syri’at adalah jalan awal yang harus ditempuh untuk menuju tasawuf. Dalam suatu bagian Al-Futuhat, Al-Makkiyah, Ibn Al-‘Arabi menyatakan, “jika engkau betanya apa itu tasawuf? Maka kami menjawab, tasawuf adalah mengikatkan diri kepada kelakuan-kelakuan baik menurut syari’at secara lahir dan batin dan itu adalah akhlaq mulia. Ungkapan-ungkapan kelakuan baik menurut syari’at dalam perkataan Ibn al-‘Arabi ini menunjukkan bahwa tasawuf harus berpedoman pada syari’at. Menurut sufi ini, syari’at adalah timbangan dan pemimpin yang harus di ikuti dan disikuti oleh siapa saja yang mengigninkan keberhasialan tasawuf. Sebagai mana Ibn al’Arabi, Hussen Naser, seorang pemikir dari Iran yang membela tasawuf tipe “keadaan-tidak-mabuk”berulangkali menekankan bahwa tidak ada tasawwuf tanpa syari’at.
Islam adalah suatu Agama yang mempunyai ajaran yang amat luas. Ajaran-ajaran Islam itu dinamakan Syari’at Islam. Syari’at Islam mencakup segenap peraturan-peraturan Allah SWT, yang dibawa/disampaikan oleh Nabi Muhammad saw, untuk seluruh manusia, dalam mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan menusia sesamanya dan hubungannya dengan makhluk lain. Dan peraturan itu berfaedah untuk untuk mensucikan jiwa manusia danmenghiasinya dengan sifat-sifat yang utama. Inilah pengertian syari’at yang biasa dipakai oleh para Ulama’ Salaf. Tasawuf adalah satu cabang dari Syari’at Islam, seperti halnya dengan Tauhid (aqidah) dan fiqih yang merupakan cabang dari Syari’at Islam. Seperti di dalam hadist yang diriwayatkan dari Umar ra, yang mengisayaratkan tiga unsure dasar syari’at Islam tentang Islam, Iman dan Ihsan. Ihsan termasuk amal hati dalam hubungan dengan ma’bud (Tuhan). Soal ini tidak dipelajari di dalam ilmu kalam dan fiqh, tetapi dibicarakan di dalam Tasawuf. Adapun yang berkenaan dengan amal lahir seperti shalat, puasa, zakat dan haji, itulah yang dipelajari dalam ilmu fiqh, yang menyangkut soalaqidah dipelajari di dalam ilmu Kalam.
Selain dari Ihsan, tasawuf juga membahas tentang hubngan manusia dengan sesamanya yang disebut akhlaq, seperti halnya dengan fiqh selain membahas tentang rukun Islam ia juga membahas tentang muamalat maliah, jinayat, munahkat dan qoda’, karena persoalan-persoalan ini erat hubungannya dengan maslah pokok yang disebutkan Nabi di atas(Islam, Iman, Ihsan). Sebagai contoh adalah tentang penyakit dengki(hasad). Dengki menurut hadist Rasul dapat memakan amal seperti api memakan kayu bakar. Dari hadist ini (tentang Islam, Iman, Ihsan) dapat dipahamkan bahwa dengki yang merusak hubungan dengan sesame manusia juga dapat merusak hubungan dengan Tuhan. Karena itu masalah akhlaq yang tercela dan akhlaq yang terpuji yang bertumbuh di dalam hati dapat dipelajari dalam ilmu Tasawuf. Dengan ini jelas, betapa kedudukan Tasawuf denga rangkaian syari’at Islam. Tasawuf Islam tidak akan ada kalau tidak ada Tauhid. Tegasnya tiada guna pembersihan hati kalau tidak beriman. Tasawuf Islam sebenarnya adalah hasil dari aqidah yang murni dan kuat yang seseuai dengan kehendak Allah dan Rasul-Nya.
D.    Konsep Sankan Paraning Dumadi
Sankan paraning dumadi ialah istilaah yang berasal dari bahasa jawa. Sankan yang berarti berasal dan paran berarti tujuan, dan dumadi adalah insiden. Jadi sankan paraning dumadi ialah dari mana manusia berasal dan kemana manusia akan pulang, atau biasa disebut denganh darimana mau kemana. Istilah ini disebut dalam islam yaitu dengan kalimat Tarji’.
Masyarakat tradisional Jawa selalu mengajarkan nilai-nilai adiluhung kepada anak anak mereka lahir ke dunia. Semua ajaran tersebut bermuara pada anjuran agar kita selalu megingat sangkan paraning dumadi. Konsep kehidupan hingga kematian terserat dalam tembang jawa yang disebut sebagai tembang macapat. Berikut lur tembang macapat beserta penjelasanya:
1.      Mijil yang berarti lahir
Kelahiran seorang manusia merupakan hasil hasil olah jiwa raga pria dan wanita.
2.      Maskumambang.
Setelah si jabang bayi lahir, hati orang tua diliputi kebahagiaan.
3.      Kinanthi.
Buah hati yang semula berwujud jabang bayi merah merekah, kemudian berkembang menjadi anak yang selalu diharapkan oleh orang tuanya sebagai anugerah dan berkah.
4.      Sinom
Secara bahasa sinom berarti isih enom (masih muda).  Maksudnya jabang bayi yang mulai berkembang menjadi remaja merupakan manusia yang masih muda usia.
5.      Dandanggula
Tembang ini menggambarkan seorang remaja yang mulai beranjak dewasa.
6.      Asmarandana
Asmarandana ialah api asmara yang membakar jiwa dan raga. Kehidupannya digerakan oleh motivasi harapan dan asa asmara.
7.      Gambuh
Tembang gambuh atau gampang nambuh menujukan seseorang yang bersikap angkuh serta acuh tak acuh seolah ia sudah menjadi orang yang teguh, ampuh, dan keluarganya tidak akan runtuh.
8.      Durma
Durma atau mundurnya tata karma merupakan tembang yang menceritakan kondisi yang penuh kejahatan.
9.      Pangkur
Tembang pangkur menggambarkan keadaan manusia yang telah mencapai usia uzur dan merasakan penyesalan.
10.  Megatruh.
Megat ruh artinya putusnya nyawa dan raga.
11.  Pocung
Pocung atau pocong adalah orang yang telah meninggal dunia, lalu dibungkus kain kafan.
“Sangkan Paraning Dumadi” dapat juga di konsepkan seperti kata “Inna lillahi Wa Inna Lillahi Raaji’un” kita dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.
E.     Konsep Makrifat
Dari segi bahasa makrifat berasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan, makrifat yang artinya pengetahuan atau pengalaman, dapat pula berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang biasa didapati oleh orang-orang pada umumnya. Makrifat adalah pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui hakikat ketuhanan, dan hakikat itu satu, dan segala yang maujud berasal dari yang satu.
Oleh karena itu orang-orang sufi mengatakan:
1.      Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup, dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah.
2.      Makrifat adalah cermin, kalau seorang arif melihat ke cermin itu yang dilihatnya hanya Allah.
3.      Yang dilihat orang arif baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanya Allah.
4.      Sekiranya makrifat mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat padanya akan mati karena tak tahan melihat kecantikan serta keindahannya dan semua cahay akan menjadi gelap disamping cahaya keindahan yang gilang-gemilang.
Dari beberapa definisi tersebut dapat diketahui bahwa makrifat adalah mengetahui rahasia-rahasia yang terdapat dalam diri Tuhan.
Alat yang dapat digunakan untuk makrifat telah ada dalam diri manusia, yaitu qalb (hati) yaitu alat untuk merasa juga alat untuk berpikir. Bedanya qalb dengan akal adalah bahwa akal tak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan, sedang qalb bisa mengetahui hakikat darin segala yang ada, dan jika dilimpahi cahaya Tuhan, bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan. Qalb yang telah dibersihkan dari segala dosa dan maksiat melalui serangkai zikir dan wirid secara teratur akan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, yaitu setelah hati tersebut disinari cahaya Tuhan,
Proses sampainya qalb pada cahaya Tuhann ini erat kaitannya dengan konsep takhalli, tahalli, dan tajalli. Takhalli yaitu mengosongkan diri dari akhlak tercela dan perbuatan maksiat melalui taubat. Hal ini dilanjutkan dengan tahalli yaitu menghiasi diri dengan akhlak yang mulia dan amal ibadah. Sedangkan tajalli adalah terbukanya hijab, sehingga tampak jelas cahaya Tuhan. Hal ini sejalan dengan firman Allah yang artinya: “Tatkala Tuhannya tampak bagi gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh dan Musa jatuh pingsan.” (QS. Al-A’raf, 7:143).
Takhalli atau penarikan diri. Sang hamba yang menginginkan dirinya dekat dengan Allah haruslah menarik diri dari segala sesuatu yang mengalihkan perhatiannya dari Allah. Takhalli merupakan segi filosofis terberat, karena terdiri dari mawas diri, pengekangan segala hawa nafsu dan mengkosongkan hati dari segala-galanya, kecuali dari diri yang dikasihi yaitu Allah SWT. Takhalli berarti mengkosongkan atau memersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan dari kotoran penyakit hati yang merusak. Hal ini akan dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dengan segala bentuk dan berusaha melepaskan dorongan hawa nafsu jahat.
Tahalli berarti berhias. Maksudnya adalah membiasakan diri dengan sifat dan sikap serta pebuatan yang baik. Berusaha agar dalam setiap gerak prilaku selalu berjalan diatas ketentuan agama, baik kewajiban luar maupun kewajiban dalam atau ketaan lahir maupun batin. Ketaatan lahir maksutnya adalah kewajiban yang bersifat formal, seperti sholat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya. Sedangkan ketaatan batin seperti iman, ikhsan, dan lain sebagainya. Tahalli adalah semedi atau meditasi yaitu secara sistematik dan metodik, meleburkan kesadaran dan pikiran untuk dipusatkan dalam perenungan kepada Tuhan, dimotivasi bahana kerinduan yang sangat dilakukan seorang sufi setelah melewati proses pembersihan hati yang ternoda oleh nafsu-nafsu duniawi .
Setelah seseorang melalui dua tahap tersebut maka tahap ketiga yakni tajalli, seseorang hatinya terbebaskan dari tabir (hijab) yaitu sifat-sifat kemanusian atau memperoleh nur yang selama ini tersembunyi (Ghaib) atau fana segala selain Allah ketika nampak (tajalli) wajah-Nya. Tajalli bermakna pecerahan atau penyngkapan. Suatu term yang berkembang di kalangan sufisme sebagai sebuah penjelamaan, perwujudan dari yang tuanggal, sebuah pemancaran cahaya batin, penyingkapan rahasia Allah, dan pencerahan hati hamba-hamba saleh.


BAB III
KESIMPULAN
Tasawuf memiliki wawasan yang yang relatif luas, mulai dari upaya-upaya pembersihan hati, pembentukan akhlak yang terpuji sampai kepada makrifat. Para pengamal ajaran tasawuf sesungguhnya tidak seluruhnya sama. Ada yang konsentrasinya pada pembentukan akhlak mulia, menjadikan diri sebagai hamba yang tat kepada-Nya didalam seluruh aspek kehidupan dengan senantiasa berpegang teguh pada tuntutan syariah.
Al-Ghazali adalah orang yang pertama kali dalam sejarah Islam yang mempelajari filsafat untuk kemudian mengkritiknya. Hasil pembacaannya terhadap filsafat ia bukukan dalam bukunya maqashid al-falasifah. Buku ini ia maksudkan sebagai pengantar kritiknya terhadap filsafat yang ada dalam buku selanjutnya, tahafut al-falasifah. Al-Ghazali menjelaskan dalam karyanya tersebut, bahwa lapangan filsafat ada enam, yaitu matematika, logika, fisika, metafisika, politik dan etika. Masing-masing disiplin ilmu tersebut memiliki pola relasi yang tidak tunggal terhadap agama; ada yang tidak bertentangan sama sekali dengan agama, dan ada pula yang bertentangan.
Islam adalah suatu Agama yang mempunyai ajaran yang amat luas. Ajaran-ajaran Islam itu dinamakan Syari’at Islam. Syari’at Islam mencakup segenap peraturan-peraturan Allah SWT, yang dibawa/disampaikan oleh Nabi Muhammad saw, untuk seluruh manusia, dalam mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan menusia sesamanya dan hubungannya dengan makhluk lain. Dan peraturan itu berfaedah untuk untuk mensucikan jiwa manusia danmenghiasinya dengan sifat-sifat yang utama. Inilah pengertian syari’at yang biasa dipakai oleh para Ulama’ Salaf.
“Sangkan Paraning Dumadi” dapat juga di konsepkan seperti kata “Inna lillahi Wa Inna Lillahi Raaji’un” kita dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.
Makrifat adalah pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui hakikat ketuhanan, dan hakikat itu satu, dan segala yang maujud berasal dari yang satu.



BAB IV
PENUTUP
Kami harap Makalah ini dapat berguna kelak di kemudian hari. Di dalam naskah ini terdapat banyak pembahasan tentang “Akhlak dan Tasawuf”, semoga dapat memberikan manfaat untuk kita dan orang sekitar baik secara langsung maupun tidak langsung
Dalam pelaksanaannya kami tidak terlepas dari berbagai pihak yang telah memberikan bantuan dan kemudahan baik berupa saran maupun bentuk bantuan yang lain. Untuk itu dengan kerendahan hati kami mengucapkan terima kasih yang teramat dalam kepada :
a.         Dosen pembimbing
b.         Teman-teman,
c.         Pihak-pihak yang telah membantu pembuatan makalah ini.
Semoga Allah SWT. berkenan membalas segala kebaikannya.
Namun kami sadar bahwa makalah ini memilik banyak kekurangan. Oleh sebab itu, kritik dan saran dari dosen pembimbing dan teman-teman sangat kami harapkan. Jika ada sesuatu yang kurang berkenan kami mohon maaf.


BAB V
DAFTAR PUSTAKA
Hanafi, Ahmad.1990. Pengantar Filasafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hamdi, Ahmad Zainul. 2004. Tujuh Filsuf Muslim. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Nata, H. Abuddin. 2012. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers.
Qardhawi,Yusuf. 1997. Al Ghozali Antara Pro dan Kontra. Surabaya: Pustaka Progresif.
Wisnumurti, Rangkai. 2012. Sangkan Paraning Dumadi. Jogjakarta: Diva Press.

Comments

Popular posts from this blog

Prediksi SBMPTN 2016

SBMPTN merupakan sebuah jalur seleksi untuk masuk perguruan tinggi. maka dalam pelaksanaannya perlu persiapan. berikut contoh prediksi soal SBMPTN tahun 2016. Semoga Bermanfaat.Klik dibawah ini. Link soal Prediksi SBMPTN 2016