MAKALAH AKHLAK
DAN TASAWUF
PENYELARASAN
TASAWUF
Disusun Oleh:
1. Khusairi Abdy (16650026)
2. Nur Faizah (16650012)
3. Syafaat Adi Nugraha (16650034)
4. Ghaida Nurul Rahma Hakiki (16650045)
5. Moh Ali Ridwan (16650031)
TEKNIK
INFORMATIKA
FAKULTAS SAINS
& TEKNOLOGI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2016
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan karya
makalah Akhlak dan Tasawuf ini menegenai Penyelarasan Tasawuf.
Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas mata
kuliah Akhlak dan Tasawuf jurusan teknik informatika semester 1.
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih
banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami memohon kritik dan saran di waktu yang
akan dating. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh masyarakat
khususnya bagi mahasiswa.
Yogyakarta, November 2016
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar………………………………………..……………………………….…2
Daftar Isi………………………………………………..…………………………………3
Bab I : Pendahuluan……………………………………………………………………...4
A. Latar Belakang Masalah…………………………………………………………..4
B. Rumusan Masalah………………………………………………………………...5
Bab II : Pembahasan……………………………………………………………………..6
A. Penyimpangan Tasawuf………………………………………………………......6
B. Kritik Al-Ghazali: Terhadap Penyimpangan Tasawuf Falsafi…………………....8
C. Penyelarasan Terhadap Tasawuf…………………………………………...….....10
D. Konsep “Sankan Paraning Dumadi”……………………………………………..11
E. Konsep Makrifat………………………………………………………………....13
Bab III : Kesimpulan…………………………………………………………................15
Bab IV : Penutup………………………………………………………………………..16
Bab V : Daftar Pustaka……………………………………………………...................17
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tasawuf
sebagai salah satu ilmu esoterik islam memang selalu menarik untuk
diperbincangkan. Terlebih pada saat ini dimana masyarakat seakan mengalami
banyak masalah sehingga tasawuf dianggaap sebagai satu obat manjur untuk
mengobati kehampaan tersebut.
Terlepas
dari banyaknya pro dan kontra seputar asal mula munculnya tasawuf harus kita
akui bahwa nilai-nilai tasawuf memang sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW.
Setidaknya tasawuf pada saat itu terlihat dari tingkah laku nabi yang pada
akhirnya kita namakan dengan nilai-nilai sufi. Hal tersebut sangatlah wajar
karena misi terpenting nabi adalah untuk memperbaiki dan sekaligus
meyempurnakan akhlak masyarakat arab dulu.
Diantara
salah satu tokoh tasawuf islam yang sangat terkenal adalah Muhammad ibn
Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Thusi atau yang kita kenal dengan sebutan
Imam Al-Ghazali. Beliau telah berhasil menggagas kaedah-kaedah tasawuf yang
terkumpul dalam karya yang terkenal Ihya’ U’lum al-Din (The Revival of Religion
Sciences). Karya al-Ghazali ini dianggap sebagai jembatan yang mendamaikan syari’at
dengan tasawuf yang sempat mengalami clash pada zaman itu.
Akhlak
pada Imam Ghazali mempunyai pengertian tersendiri dan mempunyai batas
pengertiannya sendiri. Pengertian akhlak baginya mengenai cara-cara suluk,
mengenai jalan mendekatkannya kepada Allah sesuai dengan apa yang telah
ditetapkan oleh syariat Islam dan ahli-ahli feqah. Oleh sebab itu, beliau
menggunakan banyak nama untuk akhlak itu. Kadang-kadang beliau menambahnya
jalan ke akhirat, sesekali menamakannya sifat-sifat hati, pada suatu tempat lain
beliau menggunakan kata rahsia amal ibadat agama, bahkan pernah menggunakan
sebutan budi pekerti yang baik di mana ia dijadikan nama bagi sebuah karya
karangannya iaitu Akhlak al-Abrar. Sebuah karangannya yang terpenting dan
masyhur diberi nama Ihya’ Ulumuddin iaitu Pembangkit Ilmu-ilmu Agama.
Sebagai dasar budi pekerti manusia, Imam
Ghazali memberikan tiga sebab asas iaitu tafakkur membawa erti akal, syahwat
membawa erti hawa nafsu dan ghadab yang membawa erti marah. Memperbaiki budi
pekerti bagi Imam Ghazali ialah menuju keseimbangan dalam menggunkan ketiga
sifat asas tadi dan menyalurkan kepada perilaku atau perangai yang baik.
Didakwa bahawa tidak kesemua kelakuan yang baik itu disukai oleh manusia bahkan
sebaliknya kerapkali manusia itu menggemari perbuatan yang buruk.
Dalam
kitabnya Ihya’ Ulumuddin dijelaskan secara lebih mendalam bahawa budi pekerti
itu merupakan suatu naluri asli dalam jiwa sesorang manusia yang dapat
melahirkan suatu tindakan dan kelakuan dengan senang dan mudah tanpa rekaan fikiran.
Jika naluri tersebut melahirkan sesuatu tindakan dan kelakuan yang baik lagi
terpuji menurut akal dan syariat maka ia dinamakan budi pekerti yang baik.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa penyimpangan-penyimpangan tasawuf?
2.
Bagaimana kritik Al Ghazali terhadap penyimpangan tasawuf falsafi?
3.
Bagaimana penyelarasan terhadap tasawuf?
4.
Apa pengertian sankan paraning dumadi?
5.
Bagaimana konsep makrifat?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Penyimpangan Tasawuf
Tasawuf
memiliki wawasan yang yang relatif luas, mulai dari upaya,-upaya pembersihan
hati, pembentukan akhlak yang terpuji sampai kepada ma’rifah. Para pengamal
ajaran tasawuf sesungguhnya tidak seluruhnya sama. Ada yang konsentrasinya pada
pembentukan akhlak mulia, menjadikan diri sebagai hamba yang tat kepada-Nya
didalam seluruh aspek kehidupan dengan senantiasa berpegang teguh pada tuntutan
syariah. Tasawuf merupakan ilmu yang tak banyak orang dapat memahaminya secara
rinci. Banyak juga yang takut akan mempelajari ilmu tasawuf, karena mereka
melihat ilmu tasawuf merupakan ilmu yang sesat. Berikut beberapa penyimpangan
tasawuf:
1.
Wihdatul Wujud, yakni
meyakini bahwa Allah SWT menyatu dengan segala sesuatu yang ada di alam
semesta. Demikian juga Al-Hulul, yakni keyakinan bahwa Allah SWT dapat menjelma
dalam bentuk tertentu dari makhluknya. Al-Hallaj seorang sufi berkata “kemudian
Dia (Allah) menampakkan diri kepada makhluknya dalam bentuk orang makan dan
minum.” (Dinukil dari Firaq Al-Mua’shirah, karya Dr. Ghalib bin 'Ali Iwaji,
2/600). Muhammad Sayyid At-Tijani
meriwayatkan (secara dusta) dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bahawasanya
beliau bersabda:
“Aku melihat Rabbku dalam
bentuk seorang pemuda.” (Jawahirul Ma’ani, karya 'Ali Harazim, 1/197, dinukil
dari Firaq Mu’ashirah, hal. 615)
Allah SWT telah berfirman
yang artinya :
“Tidak ada sesuatu pun
yang serupa dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
(Asy-Syura:11).
Firman Allah juga pada Qs. Al-A’raf: 143) yang artinya:
Firman Allah juga pada Qs. Al-A’raf: 143) yang artinya:
“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat
dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman
(langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri
Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau." Tuhan berfirman:
"Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu,
maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat
melihat-Ku." Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu,
dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah
Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada
Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman."
2.
Seorang yang menyetubuhi
istrinya, tidak lain ia menyetubuhi Allah SWT. Ibnu ‘Arabi berkata: “Sesungguhnya seseorang ketika menyetubuhi
istrinya tidak lain (ketika itu) ia menyetubuhi Allah!” (Fushushul Hikam).
3. Keyakinan
kafir bahwa Allah SWT adalah makhluk dan makhluk adalah Allah Subhanahu wa
Ta’ala, masing-masing saling menyembah kepada yang lainnya. Ibnu ‘Arabi
berkata: “Maka Allah memujiku dan aku pun
memuji-Nya. Dan Dia menyembahku dan aku pun menyembah-Nya.” (Al-Futuhat
Al-Makkiyyah).
4.
Seluruh orang kafir yang ada di muka bumi adalah mukmin
yang bertauhid, dan bermakrifat. Orang-orang kafir bukan orang-orang yang
mengingkari Allah, tetapi orang-orang yang mengagumkan karena menganut faham
bahwa tuhan beraneka bentuk. Disisi lain, orang mukmin adalah orang yang beriman kepada
sebagian dari kebenaran saja, namun ingkar kepada sebagian yang lain. Faham seperti
ini bertolak belakang dengan substansi ajaran Al Quran dan sunnah Rasulullah
SAW. Yang membersihkan Allah dari segala yang tidak baik. Al quran dan Sunnah
tidak pernah menjelaskan bahwa substansi kejelekan, kebejatan da kehinaan
adalah Allah. Menganggap Allah saja mempunyai anak sudah dinilai oleh Al Quran
sebagai kemunkaran yang membuat langit hamper pecah, bumi terbelah dan
gunung-gunung runtuh. Allah berfirman yang artinya: “Dan mereka berkata: "Tuhan Yang Maha Pemurah
mengambil (mempunyai) anak. Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu
perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan
bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menda'wakan Allah Yang Maha
Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan yang maha pemurah selaku
seorang hamba. Sesungguhnya Allah tlah menentukan jumlah mereka dan menghitung
mereka dengan hitungan yang teliti. Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada
Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri”. (Qs. Maryam 88-95).
5.
Keyakinan tidak ada bedanya
antara agama-agama yang ada
Ibnu ‘Arabi berkata: “Sebelumnya aku mengingkari kawanku yang berbeda agama denganku. Namun kini hatiku dapat menerima semua keadaan, tempat gembala rusa dan gereja pendeta, tempat berhala dan Ka’bah, lembaran-lembaran Taurat dan Mushaf Al Qur’an.” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah). Jalaluddin Ar-Rumi, seorang tokoh sufi, berkata: “Aku seorang muslim, tapi aku juga seorang Nashrani, Brahmawi, dan Zaradasyti. Bagiku, tempat ibadah adalah sama… masjid, gereja, atau tempat berhala-berhala.”
Ibnu ‘Arabi berkata: “Sebelumnya aku mengingkari kawanku yang berbeda agama denganku. Namun kini hatiku dapat menerima semua keadaan, tempat gembala rusa dan gereja pendeta, tempat berhala dan Ka’bah, lembaran-lembaran Taurat dan Mushaf Al Qur’an.” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah). Jalaluddin Ar-Rumi, seorang tokoh sufi, berkata: “Aku seorang muslim, tapi aku juga seorang Nashrani, Brahmawi, dan Zaradasyti. Bagiku, tempat ibadah adalah sama… masjid, gereja, atau tempat berhala-berhala.”
Padahal Allah SWT berfirman
yang artinya: “Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya. Dan dia di akhirat termasuk
orang-orang yang merugi.” (Ali Imran: 85)
B. Kritik Al-Ghazali :
Terhadap Penyimpangan Tasawuf Falsafi
Dalam buku tahafutnya, Al-Ghazali menunjukkan bahwa argumen-argumen yang
disebutkan oleh Al-Farabi
dan Ibnu Sina penuh dengan kerancuan. Al-Ghazali melontarkan kritikannya
tersebut melalui metode yang sama dengan yang digunakan Ibnu Sina. Bahkan
beberapa penstudi menyatakan bahwa argumentasi yang diberikan Al-Ghazali jauh
lebih detail dan mendalam dari Ibnu Sina dan Al-Farabi. Jadi dapat dilihat
disini bahwa kritikan Al-Ghazali bisa digolongkan ke dalam usaha filsofis
karena melihat dari metode dan tujuan yang hendak diraihnya.
Pernyataan bahwa
Al-Ghazali adalah seorang yang gigih menentang filsafat tidaklah salah
sepenuhnya apabila kita hanya menelaah buku tahafut saja. Namun menjadi
lain persoalan jika kita melihat dan membandingkannya dengan karya-karya
Al-Ghazali yang lain, dimana dengan jelas terlihat bahwa pemikir berkebangsaan
Persia ini adalah seorang rasionalis tulen. Kecaman Al-Ghazali terhadap para
filosof tidak lantas diartikan bahwa ia seorang anti rasio. Kritisisme
cendekiawan muslim ini sejatinya tidak dalam rangka membunuh kreativitas
intelektual umat Islam karena ia sendiri memberikan apresiasi yang positif
terhadap akal sebagai salah satu instrumen mencari pengetahuan.
Al-Ghazali adalah orang yang pertama kali dalam sejarah
Islam yang mempelajari filsafat untuk kemudian mengkritiknya. Hasil
pembacaannya terhadap filsafat ia bukukan dalam bukunya maqashid
al-falasifah. Buku ini ia maksudkan sebagai pengantar kritiknya terhadap
filsafat yang ada dalam buku selanjutnya, tahafut al-falasifah.
Al-Ghazali menjelaskan dalam karyanya tersebut, bahwa lapangan filsafat ada
enam, yaitu matematika, logika, fisika, metafisika, politik dan etika.
Masing-masing disiplin ilmu tersebut memiliki pola relasi yang tidak tunggal
terhadap agama; ada yang tidak bertentangan sama sekali dengan agama, dan ada
pula yang bertentangan.
Matematika, menurut Al-Ghazali tidak bertentangan dengan
agama. Sifat utama dari ilmu ini adalah bahwa kebenaran yang didapatkan adalah
kebenaran yang pasti, dan tunggal. Hal ini bisa menimbulkan mispersepsi bagi
orang awam yang mengira bahwa semua lapangan filsafat termasuk metafisika,
memiliki bentuk kebenaran yang pasti. Dan hal ini sangat berbahaya menurut
Al-Ghazali. Kesalahan persepsi kedua yang rentan terjadi adalah jika ada orang
awam yang mengatakan bahwa semua bidang kajian filsafat adalah sesat sehingga
harus dihanguskan secara keseluruhan. Hal ini bisa menimbulkan masalah karena
disiplin lain yang tidak bertentangan dengan agama, seperti matematika bisa
dicap juga sebagai kesesatan. Sedangkan lapangan logika menurut Al-Ghazali,
juga tidak ada sangkut pautnya dengan agama, karena agama sendiri tidak
memberikan pernyataan tegas mengenai kedudukan logika. Karakteristik ilmu logika
berisi penyelidikan tentang argumentasi-argumentasi pembuktian dalil,
syarat-syarat pembuktian, dan silogisme, definisi dan sebagainya. Logika
sendiri acap digunakan oleh para teolog (mutakalimin) untuk membuktikan
kebenaran argumentasi mereka. Argumentasi-argumentasi yang mereka bangun
berdasarkan premis-premis pendahuluan untuk membuktikan kebenaran konklusi
suatu argumentasi. Konklusi yang dihasilkan logika bersifat pasti. Hal inilah
yang kemudian rentan disalahgunakan jika logika dipergunakan untuk mengukur
tingkat kepastian persoalan-persoalan metafisika. Inilah yang diingkari oleh
Al-Ghazali.
Sementara itu, ilmu fisika menurut Al-Ghazali berbicara
mengenai benda-benda yang ada di bumi dan di langit. Pembahasan ilmu fisika
tidak jauh berbeda dengan kedokteran, yaitu memeriksa gejala-gejala yang
terjadi terhadap tubuh, organ, peredaran darah, saraf, dan sebagainya. Karena
sifatnya yang demikian, maka sebagaimana ilmu kedokteran tidak dilarang oleh
agama, ilmu fisika juga tidak perlu untuk diingkari. Kesimpulan dalam
mempelajari ilmu fisika ini adalah bahwa alam semesta tunduk dan diciptakan
oleh Allah, bukan ada dengan sendirinya dalam waktu yang tak terbatas (qadim)
sebagaimana yang diimani oleh para filosof yang dikritik Al-Ghazali.
Dalam bidang politik dan etika, para filosof hanya
berbicara masalah kebijaksanaan dan aturan moral yang harus dilakukan apabila
ingin mendapatkan tujuan di dunia. Perbedaan antaa keduanya, jika pada ilmu
politik aturan moral diberlakukan untuk mendapatkan kekuasaan dunia, sedangkan
dalam ilmu akhlak digunakan untuk mendapatkan kebahagiaan dan hidup terhormat
di dunia.
C.
Penyelarasan
Tasawuf
Salah satu tuduhan
yang kerap dialamatkan kepada tasawuf adalah bahwa tasawuf mengabaikan atau
tidak mementingkan syari’at. Tuduhan ini berlaku hanya bagi kasus-kasus tertntu
yang biasanya terdapat dalam tasawuf tipe “Keadaan Mabuk”(sur, intoxication), yang
dapat membedakan dari tasawuf tipe “keadaan-tidak-mabuk”(sahw, sobiety).
“Keadaan Mabuk” dikuasai oleh persaan kehadiran Tuhan: para sufi melihat
Tuhan dalam segala sesuatu dan kehilangan kemampuan untuk membedakan
makhluq-makhluq. Keadaan ini disertai oleh keintiman (uns), kedekatan dengan
Tuahn yang mencintai. “keadaan-tidak-mabuk” dipenuhi oleh rasa takut dan hormat
(haybah), rasa bahwa Tuhan betapa agung, perkasa, penuh murkan dan jauh, derta
tidak perduli pada persoalan-persoalan kecil umat manusia.
Para sufi “yang
mabuk” merasakan keintiman dengan Tuhan dan sangat yaqin pada kasih sayang-Nya,
sedangkan para sufi “yang-tidak-mabuk” dikuasai rasa takut dan hormat kepada
Tuhan dan tetap khawatir terhadap kemurkaanNya. Yang pertama cenderung kurang
mementingkan syari’at dan menyaatkan terang-terangan persatuan denagan Tuhan,
sedangkan yagn kedua memelihara kesopanan (adab) terhadap Tuhan. Para sufi
yang, dalam ungkapan Ibn al-‘Arabi, “melkihat dengan kedua mata” selalu
memelihara akal dan kasyf (penyingkakpan intuitif) dalam keseimbangan yang
sempurna dengan tetap mengakui hak-hak “yang tidak-mabuk” dan “yang-mabuk”.
Tuduhan bahwa tasawuf
mengabaikan syari’at tidak dapat diterima apabila ditujukan kepada tasawuf tipe
“keadaan-tidak-mabuk”. Pasalnya, tasawuf tipe ini sangat menekankan pentingnya
syari’at. Tasawuf tidak dapat dipisahkan karena bagi para penganutnya syri’at
adalah jalan awal yang harus ditempuh untuk menuju tasawuf. Dalam suatu bagian
Al-Futuhat, Al-Makkiyah, Ibn Al-‘Arabi menyatakan, “jika engkau betanya apa itu
tasawuf? Maka kami menjawab, tasawuf adalah mengikatkan diri kepada
kelakuan-kelakuan baik menurut syari’at secara lahir dan batin dan itu adalah
akhlaq mulia. Ungkapan-ungkapan kelakuan baik menurut syari’at dalam perkataan
Ibn al-‘Arabi ini menunjukkan bahwa tasawuf harus berpedoman pada syari’at.
Menurut sufi ini, syari’at adalah timbangan dan pemimpin yang harus di ikuti
dan disikuti oleh siapa saja yang mengigninkan keberhasialan tasawuf. Sebagai
mana Ibn al’Arabi, Hussen Naser, seorang pemikir dari Iran yang membela tasawuf
tipe “keadaan-tidak-mabuk”berulangkali menekankan bahwa tidak ada tasawwuf
tanpa syari’at.
Islam adalah suatu
Agama yang mempunyai ajaran yang amat luas. Ajaran-ajaran Islam itu dinamakan
Syari’at Islam. Syari’at Islam mencakup segenap peraturan-peraturan Allah SWT,
yang dibawa/disampaikan oleh Nabi Muhammad saw, untuk seluruh manusia, dalam
mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan menusia sesamanya dan
hubungannya dengan makhluk lain. Dan peraturan itu berfaedah untuk untuk
mensucikan jiwa manusia danmenghiasinya dengan sifat-sifat yang utama. Inilah
pengertian syari’at yang biasa dipakai oleh para Ulama’ Salaf. Tasawuf adalah
satu cabang dari Syari’at Islam, seperti halnya dengan Tauhid (aqidah) dan fiqih
yang merupakan cabang dari Syari’at Islam. Seperti di dalam hadist yang
diriwayatkan dari Umar ra, yang mengisayaratkan tiga unsure dasar syari’at
Islam tentang Islam, Iman dan Ihsan. Ihsan termasuk amal hati dalam hubungan
dengan ma’bud (Tuhan). Soal ini tidak dipelajari di dalam ilmu kalam dan fiqh,
tetapi dibicarakan di dalam Tasawuf. Adapun yang berkenaan dengan amal lahir
seperti shalat, puasa, zakat dan haji, itulah yang dipelajari dalam ilmu fiqh,
yang menyangkut soalaqidah dipelajari di dalam ilmu Kalam.
Selain dari Ihsan,
tasawuf juga membahas tentang hubngan manusia dengan sesamanya yang disebut
akhlaq, seperti halnya dengan fiqh selain membahas tentang rukun Islam ia juga
membahas tentang muamalat maliah, jinayat, munahkat dan qoda’, karena persoalan-persoalan
ini erat hubungannya dengan maslah pokok yang disebutkan Nabi di atas(Islam,
Iman, Ihsan). Sebagai contoh adalah tentang penyakit dengki(hasad). Dengki
menurut hadist Rasul dapat memakan amal seperti api memakan kayu bakar. Dari
hadist ini (tentang Islam, Iman, Ihsan) dapat dipahamkan bahwa dengki yang
merusak hubungan dengan sesame manusia juga dapat merusak hubungan dengan
Tuhan. Karena itu masalah akhlaq yang tercela dan akhlaq yang terpuji yang
bertumbuh di dalam hati dapat dipelajari dalam ilmu Tasawuf. Dengan ini
jelas, betapa kedudukan Tasawuf denga rangkaian syari’at Islam. Tasawuf Islam
tidak akan ada kalau tidak ada Tauhid. Tegasnya tiada guna pembersihan hati
kalau tidak beriman. Tasawuf Islam sebenarnya adalah hasil dari aqidah yang
murni dan kuat yang seseuai dengan kehendak Allah dan Rasul-Nya.
D.
Konsep Sankan Paraning Dumadi
Sankan paraning
dumadi ialah istilaah yang berasal dari bahasa jawa. Sankan yang berarti
berasal dan paran berarti tujuan, dan dumadi adalah insiden. Jadi sankan
paraning dumadi ialah dari mana manusia berasal dan kemana manusia akan pulang,
atau biasa disebut denganh darimana mau kemana. Istilah ini disebut dalam islam
yaitu dengan kalimat Tarji’.
Masyarakat
tradisional Jawa selalu mengajarkan nilai-nilai adiluhung kepada anak anak
mereka lahir ke dunia. Semua ajaran tersebut bermuara pada anjuran agar kita
selalu megingat sangkan paraning dumadi. Konsep kehidupan hingga kematian
terserat dalam tembang jawa yang disebut sebagai tembang macapat. Berikut lur tembang
macapat beserta penjelasanya:
1.
Mijil yang berarti lahir
Kelahiran seorang manusia merupakan hasil hasil olah jiwa raga pria dan
wanita.
2.
Maskumambang.
Setelah si jabang bayi lahir, hati orang tua diliputi kebahagiaan.
3.
Kinanthi.
Buah hati yang semula berwujud jabang bayi merah merekah, kemudian
berkembang menjadi anak yang selalu diharapkan oleh orang tuanya sebagai
anugerah dan berkah.
4.
Sinom
Secara bahasa sinom berarti isih enom (masih muda). Maksudnya jabang bayi yang mulai berkembang
menjadi remaja merupakan manusia yang masih muda usia.
5.
Dandanggula
Tembang ini menggambarkan seorang remaja yang mulai beranjak dewasa.
6.
Asmarandana
Asmarandana ialah api asmara yang membakar jiwa dan raga. Kehidupannya
digerakan oleh motivasi harapan dan asa asmara.
7.
Gambuh
Tembang gambuh atau gampang nambuh menujukan seseorang yang bersikap
angkuh serta acuh tak acuh seolah ia sudah menjadi orang yang teguh, ampuh, dan
keluarganya tidak akan runtuh.
8.
Durma
Durma atau mundurnya tata karma merupakan tembang yang menceritakan
kondisi yang penuh kejahatan.
9.
Pangkur
Tembang pangkur menggambarkan keadaan manusia yang telah mencapai usia
uzur dan merasakan penyesalan.
10. Megatruh.
Megat ruh artinya putusnya nyawa dan raga.
11. Pocung
Pocung atau pocong adalah orang yang telah meninggal dunia, lalu
dibungkus kain kafan.
“Sangkan Paraning Dumadi” dapat juga di konsepkan seperti
kata “Inna lillahi Wa Inna Lillahi Raaji’un” kita dari Allah dan akan
kembali kepada-Nya.
E.
Konsep Makrifat
Dari segi
bahasa makrifat berasal dari kata arafa,
ya’rifu, irfan, makrifat yang artinya pengetahuan atau pengalaman, dapat
pula berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih
tinggi daripada ilmu yang biasa didapati oleh orang-orang pada umumnya.
Makrifat adalah pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal-hal yang bersifat
zahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui hakikat
ketuhanan, dan hakikat itu satu, dan segala yang maujud berasal dari yang satu.
Oleh
karena itu orang-orang sufi mengatakan:
1.
Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata
kepalanya akan tertutup, dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah.
2.
Makrifat adalah cermin, kalau seorang arif melihat ke cermin itu yang
dilihatnya hanya Allah.
3.
Yang dilihat orang arif baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanya
Allah.
4.
Sekiranya makrifat mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat
padanya akan mati karena tak tahan melihat kecantikan serta keindahannya dan
semua cahay akan menjadi gelap disamping cahaya keindahan yang gilang-gemilang.
Dari
beberapa definisi tersebut dapat diketahui bahwa makrifat adalah mengetahui
rahasia-rahasia yang terdapat dalam diri Tuhan.
Alat
yang dapat digunakan untuk makrifat telah ada dalam diri manusia, yaitu qalb
(hati) yaitu alat untuk merasa juga alat untuk berpikir. Bedanya qalb dengan
akal adalah bahwa akal tak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang
Tuhan, sedang qalb bisa mengetahui hakikat darin segala yang ada, dan jika
dilimpahi cahaya Tuhan, bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan. Qalb yang telah
dibersihkan dari segala dosa dan maksiat melalui serangkai zikir dan wirid
secara teratur akan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, yaitu setelah hati
tersebut disinari cahaya Tuhan,
Proses
sampainya qalb pada cahaya Tuhann ini erat kaitannya dengan konsep takhalli,
tahalli, dan tajalli. Takhalli yaitu mengosongkan diri dari akhlak tercela dan
perbuatan maksiat melalui taubat. Hal ini dilanjutkan dengan tahalli yaitu
menghiasi diri dengan akhlak yang mulia dan amal ibadah. Sedangkan tajalli
adalah terbukanya hijab, sehingga tampak jelas cahaya Tuhan. Hal ini sejalan
dengan firman Allah yang artinya: “Tatkala
Tuhannya tampak bagi gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur
luluh dan Musa jatuh pingsan.” (QS. Al-A’raf, 7:143).
Takhalli atau penarikan diri. Sang hamba yang menginginkan
dirinya dekat dengan Allah haruslah menarik diri dari segala sesuatu yang
mengalihkan perhatiannya dari Allah. Takhalli merupakan segi filosofis
terberat, karena terdiri dari mawas diri, pengekangan segala hawa nafsu dan
mengkosongkan hati dari segala-galanya, kecuali dari diri yang dikasihi yaitu
Allah SWT. Takhalli berarti mengkosongkan atau memersihkan diri dari
sifat-sifat tercela dan dari kotoran penyakit hati yang merusak. Hal ini akan
dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dengan segala
bentuk dan berusaha melepaskan dorongan hawa nafsu jahat.
Tahalli berarti berhias. Maksudnya adalah membiasakan diri
dengan sifat dan sikap serta pebuatan yang baik. Berusaha agar dalam setiap
gerak prilaku selalu berjalan diatas ketentuan agama, baik kewajiban luar
maupun kewajiban dalam atau ketaan lahir maupun batin. Ketaatan lahir maksutnya
adalah kewajiban yang bersifat formal, seperti sholat, puasa, zakat, haji, dan
lain sebagainya. Sedangkan ketaatan batin seperti iman, ikhsan, dan lain
sebagainya. Tahalli adalah semedi atau meditasi yaitu secara sistematik dan
metodik, meleburkan kesadaran dan pikiran untuk dipusatkan dalam perenungan
kepada Tuhan, dimotivasi bahana kerinduan yang sangat dilakukan seorang sufi
setelah melewati proses pembersihan hati yang ternoda oleh nafsu-nafsu duniawi
.
Setelah seseorang melalui dua tahap tersebut maka tahap
ketiga yakni tajalli, seseorang hatinya terbebaskan dari tabir (hijab) yaitu
sifat-sifat kemanusian atau memperoleh nur yang selama ini tersembunyi (Ghaib)
atau fana segala selain Allah ketika nampak (tajalli) wajah-Nya. Tajalli
bermakna pecerahan atau penyngkapan. Suatu term yang berkembang di kalangan
sufisme sebagai sebuah penjelamaan, perwujudan dari yang tuanggal, sebuah
pemancaran cahaya batin, penyingkapan rahasia Allah, dan pencerahan hati
hamba-hamba saleh.
BAB III
KESIMPULAN
Tasawuf memiliki
wawasan yang yang relatif luas, mulai dari upaya-upaya pembersihan hati,
pembentukan akhlak yang terpuji sampai kepada makrifat. Para pengamal ajaran
tasawuf sesungguhnya tidak seluruhnya sama. Ada yang konsentrasinya pada
pembentukan akhlak mulia, menjadikan diri sebagai hamba yang tat kepada-Nya
didalam seluruh aspek kehidupan dengan senantiasa berpegang teguh pada tuntutan
syariah.
Al-Ghazali adalah orang yang pertama kali dalam sejarah
Islam yang mempelajari filsafat untuk kemudian mengkritiknya. Hasil
pembacaannya terhadap filsafat ia bukukan dalam bukunya maqashid
al-falasifah. Buku ini ia maksudkan sebagai pengantar kritiknya terhadap
filsafat yang ada dalam buku selanjutnya, tahafut al-falasifah.
Al-Ghazali menjelaskan dalam karyanya tersebut, bahwa lapangan filsafat ada
enam, yaitu matematika, logika, fisika, metafisika, politik dan etika.
Masing-masing disiplin ilmu tersebut memiliki pola relasi yang tidak tunggal
terhadap agama; ada yang tidak bertentangan sama sekali dengan agama, dan ada
pula yang bertentangan.
Islam adalah suatu
Agama yang mempunyai ajaran yang amat luas. Ajaran-ajaran Islam itu dinamakan
Syari’at Islam. Syari’at Islam mencakup segenap peraturan-peraturan Allah SWT,
yang dibawa/disampaikan oleh Nabi Muhammad saw, untuk seluruh manusia, dalam
mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan menusia sesamanya dan
hubungannya dengan makhluk lain. Dan peraturan itu berfaedah untuk untuk
mensucikan jiwa manusia danmenghiasinya dengan sifat-sifat yang utama. Inilah
pengertian syari’at yang biasa dipakai oleh para Ulama’ Salaf.
“Sangkan
Paraning Dumadi” dapat juga di konsepkan seperti kata “Inna lillahi Wa Inna
Lillahi Raaji’un” kita dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.
Makrifat adalah
pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi lebih
mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui hakikat ketuhanan, dan hakikat itu
satu, dan segala yang maujud berasal dari yang satu.
BAB IV
PENUTUP
Kami
harap Makalah ini dapat berguna kelak di kemudian hari. Di dalam naskah ini
terdapat banyak pembahasan tentang “Akhlak dan Tasawuf”, semoga dapat
memberikan manfaat untuk kita dan orang sekitar baik secara langsung maupun
tidak langsung
Dalam
pelaksanaannya kami tidak terlepas dari berbagai pihak yang telah memberikan
bantuan dan kemudahan baik berupa saran maupun bentuk bantuan yang lain. Untuk
itu dengan kerendahan hati kami mengucapkan terima kasih yang teramat dalam
kepada :
a.
Dosen pembimbing
b.
Teman-teman,
c.
Pihak-pihak yang telah membantu pembuatan makalah ini.
Semoga
Allah SWT. berkenan membalas segala kebaikannya.
Namun
kami sadar bahwa makalah ini memilik banyak kekurangan. Oleh sebab itu, kritik
dan saran dari dosen pembimbing dan teman-teman sangat kami harapkan. Jika ada sesuatu yang kurang
berkenan kami mohon maaf.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
Hanafi, Ahmad.1990. Pengantar Filasafat
Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hamdi, Ahmad Zainul.
2004. Tujuh Filsuf Muslim. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Nata,
H. Abuddin. 2012. Akhlak Tasawuf.
Jakarta: Rajawali Pers.
Qardhawi,Yusuf. 1997. Al Ghozali Antara Pro dan Kontra. Surabaya: Pustaka Progresif.
Wisnumurti,
Rangkai. 2012. Sangkan Paraning Dumadi.
Jogjakarta: Diva Press.
Comments
Post a Comment